SERDANG BEDAGAI- Berada di tengah jantung Sumatera Utara, Sei Rampah, ibu kota Kabupaten Serdang Bedagai (Sergai), tidak hanya menyimpan kekayaan alam tetapi juga kaya akan sejarah budaya. Nama Sei Rampah sendiri mencerminkan kedekatannya dengan sungai dan perdagangan rempah-rempah yang telah berlangsung sejak berabad lalu. Kata “Sei” berasal dari bahasa lokal yang berarti sungai, sedangkan “Rampah” merujuk pada rempah-rempah yang tumbuh subur di sepanjang aliran sungai tersebut.
Sei Rampah, yang dulunya bagian dari Kerajaan Padang Bedagai, telah menjadi salah satu wilayah perdagangan rempah-rempah utama di Sumatera. Berkat letaknya yang strategis, wilayah ini menjadi jalur utama bagi pedagang dari Persia, Gujarat, Mesir, Cina, dan Malaka yang datang untuk membeli rempah-rempah seperti kemiri, pala, lada, dan cengkeh. Kondisi tanah yang subur memungkinkan masyarakat setempat untuk mengelola dan memanfaatkan hasil pertanian, yang kemudian menjadi komoditas unggulan yang mendukung perekonomian kawasan tersebut.
Kehadiran dua kesultanan besar, yakni Kesultanan Serdang dan Kesultanan Padang Bedagai, menjadi tonggak awal dalam perkembangan sosial dan ekonomi kawasan ini. Kerajaan Bedagai yang terletak di sekitar Sungai Rampah turut berkontribusi terhadap populasi masyarakat Melayu, termasuk suku Karo dan Simalungun, yang mendiami sepanjang aliran sungai dan muaranya.
Pada abad ke-19, dengan dibukanya perkebunan karet oleh perusahaan Belanda, seperti yang dilakukan oleh J. Nienhuys dan J.F Van Leewen Co pada 1863 di Labuhan Deli, Sumatera Timur mulai berkembang pesat. Pada saat yang sama, etnis-etnis lain mulai berdatangan dan menetap di wilayah ini. Perkembangan perkebunan karet dan kelapa sawit di daerah Padang Bedagai membuka jalur ekonomi baru yang menghubungkan Sei Rampah dengan pasar internasional. Sungai Rampah yang semula digunakan untuk transportasi perdagangan rempah-rempah kini berfungsi sebagai jalur utama pengangkutan hasil perkebunan.