Sebagai informasi tambahan, MK mengeluarkan dua putusan terkait UU Pilkada pada Selasa (20/8) yang mungkin berpengaruh pada rencana revisi ini. Putusan pertama, Putusan 60, mengubah ambang batas partai politik untuk mengusung calon kepala daerah yang sebelumnya didasarkan pada perolehan kursi di DPRD menjadi berdasarkan daftar pemilih tetap di wilayah tersebut. Putusan kedua, Putusan 70, menetapkan batas minimal usia calon kepala daerah, yaitu minimal 30 tahun saat ditetapkan sebagai calon.
Putusan-putusan ini dapat mempengaruhi berbagai aspek pencalonan, termasuk calon dari kalangan keluarga pejabat, seperti Kaesang Pangarep, putra Presiden Jokowi. Jika Baleg berupaya merevisi UU Pilkada untuk mengakomodasi atau mengubah implikasi dari putusan MK, maka hal ini bisa dianggap sebagai upaya untuk mengubah ketentuan yang telah diputuskan oleh MK.
Feri Amsari menilai bahwa jika Baleg terus melanjutkan upaya revisi untuk menanggapi putusan MK, hal tersebut bisa dianggap sebagai pelanggaran terhadap tatanan konstitusi. “Jika Baleg berupaya mengutak-atik putusan MK, maka itu sama saja merusak tatanan konstitusi kita. Baleg harus dianggap sebagai lembaga yang telah melanggar konstitusi,” tegasnya.
Rencana revisi UU Pilkada yang dilakukan oleh Baleg DPR RI harus dipahami dalam konteks tindak lanjut atas putusan MK. Revisi undang-undang dalam hal ini tidak dimaksudkan untuk mengubah putusan MK, tetapi untuk memastikan bahwa ketentuan undang-undang selaras dengan putusan yang telah ditetapkan. Kepatuhan terhadap putusan MK adalah bagian dari tanggung jawab setiap lembaga negara, dan setiap upaya untuk mengubah ketentuan yang telah ditetapkan oleh MK harus dilakukan dengan hati-hati dan sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku.
(N/014)