JAMBI -Di Desa Sungai Gelam, Kabupaten Muaro Jambi, terdengar suara gemuruh perdebatan yang memecah kesunyian senja. Di antara hamparan hijau sawah dan pepohonan rimbun, terjadi konflik yang meruncing antara Kelompok Tani Karya Mamkur dan Koperasi Bersatu Arah Maju (BAM).
Segala pertarungan, baik fisik maupun hukum, dilakukan oleh Kelompok Tani Karya Mamkur, sebuah entitas masyarakat petani yang telah berjuang dengan tekun untuk mendapatkan pengakuan atas tanah yang mereka garap dengan keringat dan cinta. Namun, di sisi lain, Koperasi BAM, yang dipimpin oleh Syarpani alias Pepen, menegakkan klaimnya atas lahan yang telah lama menjadi sumber mata pencaharian bagi para petani Mamkur.
Kisah panjang pertarungan ini dimulai dari pemberian Surat Keputusan (SK) oleh Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia kepada Kelompok Tani Karya Mamkur. SK tersebut, yang bernomor 6190 tahun 2020, memberikan izin kepada kelompok tersebut untuk mengelola lahan seluas 210 hektare yang terletak di kawasan hutan produksi terbatas di Desa Sungai Gelam.
Pengakuan resmi dari pemerintah ini seharusnya memberikan kedamaian bagi Kelompok Tani Karya Mamkur. Namun, kegembiraan mereka pupus ketika Koperasi BAM menolak mengakui klaim atas lahan tersebut. Pepen, sebagai ketua koperasi, bersikeras bahwa lahan tersebut adalah milik BAM, meskipun SK resmi dari pemerintah menegaskan sebaliknya.