BREAKING NEWS
Selasa, 04 Februari 2025

Isu Netralitas Polri dalam Pilkada 2024: Tudingan Operasi Politik dan Usulan Pemulihan Hubungan dengan TNI

BITVonline.com - Minggu, 01 Desember 2024 08:06 WIB
0 view
Berita Terkini, Eksklusif di Saluran WhatsApp bitvonline.com
+ Gabung

JAKARTA– Isu netralitas aparat keamanan kembali menjadi sorotan utama menjelang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak 2024. Dugaan keterlibatan Polri dalam operasi politik untuk menguntungkan kubu tertentu dalam kontestasi politik Pilkada di sejumlah daerah mengemuka. Hal ini memicu pro dan kontra, dengan sejumlah pihak menduga adanya pelanggaran netralitas oleh aparat keamanan yang seharusnya berada di luar ranah politik.

Tak hanya tudingan, muncul pula julukan “Partai Coklat” yang merujuk pada warna seragam Polri. Dugaan ini semakin memanas dengan usulan dari beberapa politisi agar posisi Polri dalam struktur negara dipertimbangkan kembali, bahkan hingga muncul usulan untuk mengembalikan Polri di bawah TNI, seperti pada era Orde Baru.

Untuk memahami konteks tersebut, perlu dilihat kembali sejarah pemisahan TNI dan Polri. Pada tahun 1962, TNI dan Polri disatukan dalam satu komando Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) dengan tujuan efisiensi tugas negara serta menghindari pengaruh politik tertentu. ABRI saat itu dipimpin oleh Menteri Pertahanan dan Keamanan yang merangkap Panglima Angkatan Bersenjata.

Baca Juga:

Namun, meski bertujuan untuk menciptakan efisiensi, sistem Dwifungsi ABRI justru menimbulkan masalah baru. Peran ganda yang dimiliki oleh kedua institusi tersebut menyebabkan tumpang tindih fungsi dan wewenang. Polri yang seharusnya fokus pada tugas keamanan masyarakat, malah terlibat dalam politik. Begitu juga TNI, yang sering terjun dalam urusan sipil dan kegiatan politik, yang pada akhirnya berujung pada kritik tajam dari berbagai kalangan. Banyak yang menilai model Dwifungsi ABRI tidak efektif dan cenderung merusak profesionalisme kedua institusi tersebut.

Pemecahan hubungan antara TNI dan Polri akhirnya menjadi bagian dari Agenda Reformasi setelah jatuhnya Presiden Soeharto pada 1998. Masyarakat dan sejumlah elemen negara mendesak agar Polri dipisahkan dari ABRI demi menciptakan lembaga yang lebih profesional, netral, dan fokus pada tugas utamanya, yaitu menjaga keamanan masyarakat.

Baca Juga:

Pemerintah di bawah Presiden BJ Habibie mulai merespons tuntutan tersebut dengan menerbitkan Instruksi Presiden Nomor 2 Tahun 1999, yang menjadi langkah awal pemisahan Polri dari ABRI. Namun, proses pemisahan ini tak selesai pada masa pemerintahan Habibie yang relatif singkat. Baru pada era Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) langkah signifikan terjadi. Pada 18 Agustus 2000, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) mengesahkan Tap MPR Nomor VI/MPR/2000 yang secara resmi memisahkan Polri dari ABRI dan menjadikannya lembaga yang independen dalam struktur pemerintahan Indonesia.

Saat ini, menjelang Pilkada Serentak 2024, isu netralitas Polri kembali mengemuka. Isu ini diperburuk dengan adanya tudingan bahwa Polri terlibat dalam politik praktis dan disinyalir mendukung kubu-kubu tertentu dalam kontestasi Pilkada. Beberapa politisi bahkan mendesak pemerintah untuk mempertimbangkan kembali posisi Polri dalam struktur negara, dengan sebagian pihak berpendapat bahwa Polri sebaiknya kembali berada di bawah Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) atau bahkan di bawah TNI, seperti pada masa Orde Baru.

Sebagian besar pihak yang mendukung usulan pemulihan hubungan antara Polri dan TNI beralasan bahwa hal ini akan mengurangi potensi penyalahgunaan kewenangan oleh aparat keamanan dalam politik praktis. Mereka juga berpendapat bahwa pengembalian Polri ke bawah kendali TNI atau Kemendagri bisa memperkuat ketegasan aparat dalam menjaga keamanan dan ketertiban, tanpa terjerat konflik kepentingan politik.

Namun, bagi mereka yang mendukung independensi Polri, pemisahan Polri dari ABRI pada masa Reformasi dianggap sebagai langkah yang tepat dan tidak seharusnya dipertanyakan lagi. Mereka menilai bahwa Polri harus tetap menjadi institusi yang profesional dan bebas dari pengaruh politik, agar bisa menjalankan tugasnya dengan lebih efektif dan transparan.

Apapun pandangan yang berkembang mengenai posisi Polri, satu hal yang harus diakui adalah pentingnya menjaga netralitas aparat keamanan, terutama di masa Pilkada. Polri dan aparat keamanan lainnya memiliki peran penting dalam memastikan pelaksanaan Pilkada yang aman, jujur, dan adil. Setiap keterlibatan Polri dalam politik praktis hanya akan merusak kepercayaan publik terhadap institusi tersebut, yang pada akhirnya bisa mengganggu proses demokrasi itu sendiri.

Oleh karena itu, penting bagi semua pihak untuk tetap menjaga netralitas Polri, baik dalam Pilkada maupun dalam kegiatan politik lainnya, agar kepentingan rakyat tetap menjadi prioritas utama. Meskipun muncul beragam pendapat mengenai posisi Polri dalam struktur negara, netralitas aparat keamanan harus selalu menjadi prinsip yang tidak bisa diganggu gugat.

(JOHANSIRAIT)

beritaTerkait
Wali Kota Medan Bobby Nasution Sampaikan Isu Kemiskinan, Pangan, dan Pengungsi Rohingya kepada DPD RI
Polres Pematangsiantar Gelar Kegiatan Rutin Ditingkatkan (KRYD) di Pasar Horas, Antisipasi Pencurian
Nelayan Pantai Drini Selamatkan 9 Nyawa Anak SMP Terseret Arus, Dapat Penghargaan dari Polres Gunungkidul
Dua Awak Cessna 172s yang Jatuh di Banyuwangi Berhasil Dievakuasi
Gus Ipul Setuju Pejabat Gunakan Transportasi Umum, Tanggapi Usulan MTI
Reynhard Sinaga Akan Dipulangkan ke Indonesia, Proses Pertukaran Narapidana Dijalankan
komentar
beritaTerbaru