Berita Terkini, Eksklusif di Saluran WhatsApp bitvonline.com
+ Gabung
JAKARTA -Semarak pergulatan hukum terkait Pemilihan Umum Presiden tahun ini telah mengundang sorotan tajam publik. Namun, di balik gemerlapnya panggung politik, tersembunyi persoalan yang begitu serius—yakni pelanggaran administratif yang mencuat dalam permohonan perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) Presiden. Meski menjadi sorotan, sayangnya banyak pihak yang either kurang informasi atau bahkan sengaja mengabaikan keberadaan kesalahan fatal dalam permohonan dan petitum yang disampaikan oleh Paslon 01 dan Paslon 03.
Melalui lini hukumnya, ditemukan bahwa Pelanggaran Administratif Pemilu yang terjadi secara Terstruktur, Sistematis, dan Masif (PAP-TSM) cenderung dipaksakan untuk diadili oleh Mahkamah Konstitusi. Padahal, UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) dengan tegas membagi kewenangan antara Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan Mahkamah Konstitusi, masing-masing dengan kompetensi dan ruang geraknya sendiri.
Adanya perbedaan kewenangan ini sebenarnya adalah upaya yang proporsional dalam menegakkan keadilan, sesuai dengan prinsip Islam tentang ‘menempatkan sesuatu pada tempatnya’. Dalam konteks ini, keadilan adalah tentang mengakui dan menjalankan kebenaran, dengan tolok ukur proporsionalitasnya sebagai kunci utama.
Baca Juga:
Dalam ranah hukum, Bawaslu lah yang memiliki kewenangan mengatasi Pelanggaran Administratif Pemilu yang bersifat Terstruktur, Sistematis, dan Masif. Ini sesuai dengan Pasal 460 ayat (1) juncto Pasal 463 ayat (1) UU Pemilu yang memberikan wewenang tersebut. Lebih lanjut, Bawaslu juga memiliki kewenangan untuk merekomendasikan sanksi administratif, seperti pembatalan terhadap Paslon Presiden dan Wakil Presiden oleh KPU berdasarkan rekomendasi dari Bawaslu.
Namun, seringkali terjadi kebingungan terutama saat Bawaslu melaporkan temuan PAP-TSM kepada Mahkamah Konstitusi. Ini sebenarnya diatur dengan jelas dalam Peraturan Bawaslu Nomor 8 Tahun 2022 tentang Penyelesaian Pelanggaran Administratif Pemilihan Umum. Di sinilah pentingnya memahami alur prosedur dan kewenangan masing-masing lembaga demi menegakkan keadilan secara proporsional.
Baca Juga:
Khusus untuk Mahkamah Konstitusi, kewenangannya adalah memutus perselisihan hasil pemilihan umum yang memengaruhi penentuan terpilihnya Pasangan Calon. Namun, kewenangan ini bersifat terbatas, yakni hanya terhadap hasil penghitungan suara. Tidak ada ruang bagi Mahkamah Konstitusi untuk menangani pelanggaran administratif seperti PAP-TSM, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 475 ayat (2) UU Pemilu.
Dalam perspektif hukum yang lebih luas, penting untuk tidak membingungkan antara pelanggaran TSM dalam perselisihan Pilkada dengan Pilpres. Keduanya memiliki cakupan dan implikasi yang berbeda, dan mempersamakan keduanya hanya akan menimbulkan ketidakadilan.
Dalam akhirnya, putusan Mahkamah Konstitusi akan menjadi penutup yang mengakhiri sengketa dan kebingungan yang terjadi. Namun, di tengah proses ini, penting untuk tetap menjaga prinsip keadilan, proporsionalitas, dan kebenaran, serta memahami dengan baik kewenangan masing-masing lembaga terkait.
(K/09)
beritaTerkait
komentar