Praktik sunat perempuan, yang sering dikenal sebagai female genital mutilation (FGM), telah lama menjadi topik kontroversial. Sunat perempuan umumnya dilakukan pada anak perempuan dari bayi hingga remaja di beberapa komunitas, meskipun secara medis tidak ada bukti yang mendukung manfaat kesehatan dari prosedur ini.
Pada tahun 2010, Kementerian Kesehatan Indonesia mengeluarkan Peraturan Menteri Kesehatan No. 1636/Menkes/PER/XI/2010 mengenai sunat perempuan, yang memberikan panduan tentang prosedur tersebut. Namun, pada tahun 2014, peraturan ini dicabut melalui Peraturan Menteri Kesehatan No. 6 Tahun 2014. Permenkes 2014 menyatakan bahwa sunat perempuan tidak merupakan tindakan kedokteran yang berdasar pada indikasi medis dan belum terbukti bermanfaat bagi kesehatan.
Kebijakan Global dan Standar Internasional
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan UNICEF telah lama menegaskan bahwa sunat perempuan tidak memiliki manfaat kesehatan dan dapat menyebabkan komplikasi serius, termasuk perdarahan, gangguan psikis, dan bahkan kematian. Penelitian berbasis bukti menunjukkan bahwa risiko yang terkait dengan sunat perempuan jauh lebih besar daripada manfaat yang mungkin diperoleh.
Dengan adanya PP 28/2024, Indonesia mengikuti jejak negara-negara lain yang telah menghapus praktik ini sebagai bagian dari upaya global untuk melindungi hak dan kesehatan perempuan dan anak perempuan. Kebijakan ini mencerminkan komitmen pemerintah terhadap standar kesehatan internasional dan perlindungan hak asasi manusia.