BREAKING NEWS
Kamis, 24 April 2025

Ketika Amerika Serikat Mundur dari Globalisasi yang Ia Bangun Sendiri

Redaksi - Rabu, 23 April 2025 18:36 WIB
54 view
Ketika Amerika Serikat Mundur dari Globalisasi yang Ia Bangun Sendiri
Berita Terkini, Eksklusif di Saluran WhatsApp bitvonline.com
+ Gabung

Oleh :Dr. Anggawira

Selama beberapa dekade terakhir, negara-negara berkembang termasuk Indonesia telah "dipandu" oleh Amerika Serikat (AS) dan sekutunya di Eropa untuk membuka pasar, mengundang investasi, dan menurunkan tarif-semua atas nama globalisasi. Globalisasi ini dikemas sebagai jalan menuju kemakmuran bersama, diperkuat oleh lembaga-lembaga seperti Bank Dunia, IMF, dan WTO.

Namun, kini arah angin berubah. Negara-negara maju, khususnya Amerika Serikat, justru mulai menarik diri dari sistem global yang mereka rancang sendiri. Ini bukan sekadar perubahan strategi, tapi gejala pergeseran geopolitik dan ekonomi global yang tak bisa diabaikan.

Baca Juga:

Globalisasi: Bumerang yang Tak Terduga

Baca Juga:

AS pernah membayangkan globalisasi sebagai kendaraan untuk menaklukkan pasar dunia: barang-barang produksi mereka membanjiri dunia, dan perusahaan-perusahaan multinasional mereka bisa berproduksi murah di negara-negara berkembang.

Namun harapan itu tak sepenuhnya jadi kenyataan. China, yang semula dianggap sekadar pasar besar dan lokasi produksi berbiaya rendah, kini justru bertransformasi menjadi negara industri dan eksportir terkuat dunia.

Pada 2022, surplus perdagangan China tembus USD 823 miliar-tertinggi dalam sejarah modern (Statista, 2023). Negeri Tirai Bambu itu kini bukan hanya pabrik dunia, tetapi juga pemimpin dalam logistik, manufaktur, dan teknologi industri.

Sementara itu, di AS sendiri, sektor manufaktur justru terpuruk. Sejak tahun 2000, lebih dari lima juta pekerjaan manufaktur menghilang, sebagian besar berpindah ke Asia. Ironisnya, globalisasi yang diniatkan sebagai alat ekspansi ekonomi justru mempercepat erosi basis industri mereka sendiri.

Dominasi Dolar yang Mulai Retak

Sejak Perang Dunia II, dolar AS menjadi mata uang utama dunia. Sekitar 59% dari seluruh cadangan devisa global masih dalam bentuk dolar (IMF, 2023). Status ini memberikan AS keuntungan luar biasa: mereka bisa membiayai defisit dengan mencetak dolar, sementara negara lain harus mengumpulkan dan menyimpannya.

Namun dominasi ini kini mulai ditantang. China telah memperkenalkan sistem pembayaran lintas negara CIPS, sebagai alternatif atas sistem SWIFT yang dikuasai Barat. Lebih jauh lagi, mereka meluncurkan mata uang digital e-CNY yang digunakan dalam transaksi internasional. Rusia, Iran, India, dan bahkan beberapa negara di Afrika telah mulai melakukan perdagangan bilateral menggunakan mata uang lokal atau yuan digital.

Secara bertahap, dunia mulai bergerak menuju sistem keuangan multipolar. Sanksi ekonomi pun kehilangan tajinya. Rusia, meski disanksi besar-besaran, justru tumbuh 3,6% pada 2023 (World Bank, 2024). AS kehilangan senjata geopolitik yang selama ini diandalkan: embargo ekonomi.

AS Banting Setir ke Proteksionisme

Menanggapi perubahan ini, AS tak tinggal diam. Mereka kini mendorong reshoring, friendshoring, dan menaikkan tarif atas barang-barang dari China. Lewat CHIPS and Science Act, mereka menyuntikkan USD 280 miliar untuk menghidupkan kembali industri semikonduktor domestik.

Ini adalah pengakuan tersirat: globalisasi tak lagi menguntungkan mereka. Sistem yang mereka bangun kini justru menggerus daya saing sendiri. AS mulai membangun pagar-pagar ekonomi yang sebelumnya mereka anggap sebagai penghalang pembangunan.

Dunia Sedang Mencari Keseimbangan Baru

Dalam dinamika ini, kita tidak perlu panik. Justru ini saatnya untuk lebih percaya diri. Sistem ekonomi global memang tengah mengalami badai, tetapi sejarah menunjukkan bahwa setiap krisis akan menciptakan keseimbangan baru.

Indonesia dan negara berkembang lainnya perlu melihat ini sebagai peluang, bukan sekadar tantangan. Jangan lagi sekadar menjadi pasar atau penerima investasi pasif. Kita perlu menyiapkan fondasi ekonomi yang lebih mandiri, lebih resilien, dan tidak lagi terlalu bergantung pada arah angin global yang mudah berubah.

Amerika pernah memulai globalisasi dan menikmati keuntungannya. Kini, mereka sendiri yang menarik diri. Dunia tidak akan runtuh karenanya. Justru, inilah saatnya bangsa-bangsa membangun jalan mereka sendiri.* (CNBC Indonesia)

*)Komisaris PT. Bumi Resources Tbk., Tenaga Ahli Menteri ESDM Bidang Monitoring dan Evaluasi Infrastruktur Migas, serta anggota Komisi Pengawas SKK Migas.

Editor
: Justin Nova
Tags
beritaTerkait
Trump Kembali Naikkan Tarif, Perang Dagang AS-China Memanas Jelang Pemilu
IHSG Ditutup Melemah 0,65% ke Level 6.400,05, Pasar Cemas Negosiasi Dagang AS-China
IHSG Menguat 1,70 Persen ke Level 6.368, Bursa Global Kompak Hijau
AHY Soroti Tarif Trump: Ancam Ekonomi Dunia dan Picu Resesi Global
Prabowo Sebut AS dan China Teman Baik, Siap Jadi Penengah Perang Dagang
Rupiah Bangkit! Tembus Rp16.772 per Dolar AS, Jumat 11 April 2025
komentar
beritaTerbaru