Secara bertahap, dunia mulai bergerak menuju sistem keuangan multipolar. Sanksi ekonomi pun kehilangan tajinya. Rusia, meski disanksi besar-besaran, justru tumbuh 3,6% pada 2023 (World Bank, 2024). AS kehilangan senjata geopolitik yang selama ini diandalkan: embargo ekonomi.
Menanggapi perubahan ini, AS tak tinggal diam. Mereka kini mendorong reshoring, friendshoring, dan menaikkan tarif atas barang-barang dari China. Lewat CHIPS and Science Act, mereka menyuntikkan USD 280 miliar untuk menghidupkan kembali industri semikonduktor domestik.
Ini adalah pengakuan tersirat: globalisasi tak lagi menguntungkan mereka. Sistem yang mereka bangun kini justru menggerus daya saing sendiri. AS mulai membangun pagar-pagar ekonomi yang sebelumnya mereka anggap sebagai penghalang pembangunan.
Dalam dinamika ini, kita tidak perlu panik. Justru ini saatnya untuk lebih percaya diri. Sistem ekonomi global memang tengah mengalami badai, tetapi sejarah menunjukkan bahwa setiap krisis akan menciptakan keseimbangan baru.
Indonesia dan negara berkembang lainnya perlu melihat ini sebagai peluang, bukan sekadar tantangan. Jangan lagi sekadar menjadi pasar atau penerima investasi pasif. Kita perlu menyiapkan fondasi ekonomi yang lebih mandiri, lebih resilien, dan tidak lagi terlalu bergantung pada arah angin global yang mudah berubah.
Amerika pernah memulai globalisasi dan menikmati keuntungannya. Kini, mereka sendiri yang menarik diri. Dunia tidak akan runtuh karenanya. Justru, inilah saatnya bangsa-bangsa membangun jalan mereka sendiri.* (CNBC Indonesia)
*)Komisaris PT. Bumi Resources Tbk., Tenaga Ahli Menteri ESDM Bidang Monitoring dan Evaluasi Infrastruktur Migas, serta anggota Komisi Pengawas SKK Migas.