Selama beberapa dekade terakhir, negara-negara berkembang termasuk Indonesia telah "dipandu" oleh Amerika Serikat (AS) dan sekutunya di Eropa untuk membuka pasar, mengundang investasi, dan menurunkan tarif-semua atas nama globalisasi. Globalisasi ini dikemas sebagai jalan menuju kemakmuran bersama, diperkuat oleh lembaga-lembaga seperti Bank Dunia, IMF, dan WTO.
Namun, kini arah angin berubah. Negara-negara maju, khususnya Amerika Serikat, justru mulai menarik diri dari sistem global yang mereka rancang sendiri. Ini bukan sekadar perubahan strategi, tapi gejala pergeseran geopolitik dan ekonomi global yang tak bisa diabaikan.
AS pernah membayangkan globalisasi sebagai kendaraan untuk menaklukkan pasar dunia: barang-barang produksi mereka membanjiri dunia, dan perusahaan-perusahaan multinasional mereka bisa berproduksi murah di negara-negara berkembang.
Namun harapan itu tak sepenuhnya jadi kenyataan. China, yang semula dianggap sekadar pasar besar dan lokasi produksi berbiaya rendah, kini justru bertransformasi menjadi negara industri dan eksportir terkuat dunia.
Pada 2022, surplus perdagangan China tembus USD 823 miliar-tertinggi dalam sejarah modern (Statista, 2023). Negeri Tirai Bambu itu kini bukan hanya pabrik dunia, tetapi juga pemimpin dalam logistik, manufaktur, dan teknologi industri.
Sementara itu, di AS sendiri, sektor manufaktur justru terpuruk. Sejak tahun 2000, lebih dari lima juta pekerjaan manufaktur menghilang, sebagian besar berpindah ke Asia. Ironisnya, globalisasi yang diniatkan sebagai alat ekspansi ekonomi justru mempercepat erosi basis industri mereka sendiri.
Dominasi Dolar yang Mulai Retak
Sejak Perang Dunia II, dolar AS menjadi mata uang utama dunia. Sekitar 59% dari seluruh cadangan devisa global masih dalam bentuk dolar (IMF, 2023). Status ini memberikan AS keuntungan luar biasa: mereka bisa membiayai defisit dengan mencetak dolar, sementara negara lain harus mengumpulkan dan menyimpannya.
Namun dominasi ini kini mulai ditantang. China telah memperkenalkan sistem pembayaran lintas negara CIPS, sebagai alternatif atas sistem SWIFT yang dikuasai Barat. Lebih jauh lagi, mereka meluncurkan mata uang digital e-CNY yang digunakan dalam transaksi internasional. Rusia, Iran, India, dan bahkan beberapa negara di Afrika telah mulai melakukan perdagangan bilateral menggunakan mata uang lokal atau yuan digital.