DI tanah yang katanya milik negara, justru rakyat yang paling awal ditendang saat uang mulai berbicara. Inilah wajah telanjang negeri kita hari ini.
Tempat keadilan hanya slogan. Dan rakyat kecil hanyalah statistik yang bisa disingkirkan kapan saja. Percut Sei Tuan, Deli Serdang, jadi saksi bisu pengkhianatan itu.
Tanah berstatus HGU milik PTPN yang seharusnya dikelola untuk kepentingan bangsa, malah berubah jadi ladang emas bagi pengembang-pengembang raksasa. Citraland. Jewel Garden. Nama-nama besar yang kini berdiri gagah dengan ribuan ruko mewah.
Tapi, di balik tembok-tembok megah itu, ada tangisan warga yang telah tinggal puluhan tahun, dipaksa pergi tanpa solusi. Tanpa belas kasihan. Seolah-olah mereka pendatang ilegal di tanah sendiri.
Pertanyaannya sederhana tapi memalukan: Ke mana negara? Dan lebih spesifik: ke mana Gubernur Sumatera Utara, Bobby Nasution?
Rakyat menjerit, tapi kantor gubernur sunyi. Tak ada langkah nyata. Tak ada suara keras yang berpihak pada yang lemah. Padahal, diam di tengah ketidakadilan adalah bentuk paling kejam dari pengkhianatan. Diamnya Bobby Nasution bukan hanya soal kelalaian—itu adalah tanda bahwa keberpihakan telah berpindah: dari rakyat ke pemodal.
Bandingkan dengan Jawa Barat. Ketika PTPN bermain kotor, sebagai gubernur, Dedi Mulyadi tak tinggal diam. Ia turun langsung, membongkar kedok, berdiri bersama rakyat meski harus melawan sistem. Ia tahu, tugas pemimpin bukan jadi juru foto proyek investor, tapi jadi tameng pertama bagi rakyat yang tertindas.
Sangat wajar, bila masyarakat berkhayal: andai saja Sumatera Utara dipimpin orang seperti Kang Dedi. Bukan seperti Bobby Nasution, yang lebih sibuk menjaga citra daripada menjaga hak rakyat.
Ini bukan sekadar konflik lahan. Ini adalah pertarungan antara nurani dan keserakahan. Antara rakyat yang cuma ingin hidup layak di tanah sendiri, dan elite yang menjual martabat daerah demi keuntungan segelintir orang.
Bobby Nasution masih punya waktu. Tapi waktu itu tidak akan lama. Kalau dia terus diam, jangan salahkan rakyat jika kelak memilih pemimpin yang lebih berani, lebih peduli, dan punya hati. Karena rakyat muak dengan pemimpin yang hanya muncul saat lampu kamera menyala, tapi hilang saat suara jeritan rakyat menggema.