Berita Terkini, Eksklusif di Saluran WhatsApp bitvonline.com
+ Gabung
Oleh: KRISNA
SETIAP hari, kita dijejali ribuan berita. Namun, ironisnya, semuanya terasa seragam—bagaikan gema dalam ruang hampa. Logo media boleh berbeda, tetapi isinya hampir tak berjiwa.
Baca Juga:
Dulu, di bawah Orde Baru, keseragaman berita lahir dari ketakutan. Kini, tanpa perlu represi, cukup algoritma yang bekerja. Google, media sosial, dan mesin klik telah mengambil alih peran penguasa lama. Berita bukan lagi soal kebenaran, melainkan tentang siapa yang lebih cepat dan siapa yang lebih banyak menarik perhatian.
Majalah Tempo pernah mengingatkan: berita di era ini lebih pendek umurnya daripada ingatan kita. Peristiwa besar sekalipun cepat dilupakan, terkubur oleh gelombang informasi berikutnya. Sejarah bukan lagi sesuatu yang diingat dan dipelajari, melainkan sekadar potongan konten yang muncul di linimasa sebelum akhirnya tenggelam.
Lebih mengkhawatirkan, jurnalisme kini kehilangan kedalamannya. Alih-alih menggali fakta, banyak jurnalis lebih sibuk mengais klik. Judul bombastis jadi lebih penting daripada substansi. Publik pun berubah, dari pembaca yang kritis menjadi pemindai yang malas—cukup membaca judul, berkomentar, lalu pindah ke hal lain.
Lalu, di manakah posisi jurnalis hari ini? Seharusnya, jurnalis adalah pemburu kebenaran. Namun, kini banyak yang lebih mirip harimau dalam kandang—terlalu lama diberi makan hingga kehilangan naluri berburu. Media yang semestinya menjadi anjing penjaga demokrasi justru semakin tunduk pada pemilik modal dan kepentingan politik.
Di ruang redaksi, berita bukan lagi tentang mengungkap fakta, melainkan tentang seberapa "layak jual" sebuah cerita. MoU, pesanan berita, dan kedekatan dengan elite menentukan arah pemberitaan lebih dari sekadar etika jurnalistik. Kritik terhadap penguasa? Risiko kehilangan iklan. Mengangkat isu sensitif? Bisa-bisa dituduh menyebar kebencian.
Jurnalisme yang dulu menjadi benteng demokrasi, kini semakin menyerupai industri hiburan. Berita bukan lagi cermin realitas, tetapi etalase kepentingan. Mereka yang mencoba berbeda, yang masih berani menggali lebih dalam, justru dianggap pengganggu stabilitas.
Jika ini terus berlanjut, maka yang mati bukan hanya jurnalisme, tetapi juga demokrasi. Ketika media kehilangan independensinya, rakyat kehilangan suara mereka.
Namun, harapan belum sepenuhnya padam. Jurnalis sejati tak akan rela menjadi budak algoritma. Mereka akan tetap mencari, menggali, dan mengungkap apa yang perlu diketahui publik. Dan masyarakat pun harus menuntut lebih—bukan sekadar berita instan, tetapi jurnalisme yang mengabdi pada kebenaran.
Sebab jika semua menyerah dan ikut arus, maka kita bukan hanya kehilangan berita yang bermakna, tetapi juga hak kita untuk mengetahui kebenaran.*
Tags
beritaTerkait
komentar