JAKARTA -Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, mengungkapkan bahwa dampak dari potensi kenaikan tarif impor oleh Amerika Serikat terhadap produk Indonesia masih bisa terkendali.
Hal ini disampaikan dalam acara Sarasehan Ekonomi bersama Presiden Republik Indonesia di Menara Mandiri, Jakarta Pusat, Selasa (8/4).
Airlangga menjelaskan bahwa ketergantungan ekspor Indonesia terhadap pasar Amerika Serikat relatif kecil jika dibandingkan dengan negara lain di kawasan Asia.
Airlangga juga menegaskan bahwa tekanan dari Amerika Serikat dapat diatasi dengan membuka pasar-pasar lain yang lebih potensial.
Sri Mulyani, Menteri Keuangan, menambahkan bahwa Amerika bukan satu-satunya pasar yang mengancam stabilitas ekonomi Indonesia. "Kita bisa antisipasi ini, Pak Presiden," tegasnya.
Saat ini, negara tujuan ekspor utama Indonesia adalah Tiongkok dengan nilai mencapai USD 60 miliar, disusul Amerika Serikat sebesar USD 26 miliar, dan India dengan USD 20 miliar.
Airlangga menilai bahwa Indonesia tidak sepenuhnya bergantung pada satu negara tujuan ekspor.
Lebih lanjut, ia menyebutkan bahwa kenaikan tarif dari Amerika Serikat tidak akan terlalu berdampak besar pada daya saing produk Indonesia, terutama di sektor tekstil dan alas kaki. "Kalau kita lihat, negara pesaing kita seperti China, Vietnam, Kamboja, dan Bangladesh tarifnya lebih tinggi dari kita.
Jadi ini malah ada kesempatan untuk merebut pasar mereka," jelasnya.
Untuk produk seperti sepatu dan pakaian, selisih antara biaya impor dan harga jual di pasar Amerika masih sangat besar.
Airlangga mencontohkan, harga jual sepatu Indonesia di Amerika berkisar antara USD 15 hingga USD 20, sementara harga beli di sana bisa mencapai USD 70 hingga USD 80.
Dengan demikian, meski ada kenaikan tarif, dampaknya tidak sebesar 30 persen.
Hal yang sama berlaku untuk pakaian, yang harga jualnya di pasar Amerika bisa mencapai USD 80 hingga USD 100, meskipun biaya produksinya hanya sekitar USD 20 hingga USD 25.*