Menurut Agus, saat ini anggaran untuk kebutuhan makanan narapidana di lapas sudah mencakup sekitar Rp 16.000 per orang untuk dua kali makan. Dengan adanya inisiatif bercocok tanam, diharapkan kualitas gizi para napi bisa lebih terjamin tanpa bergantung sepenuhnya pada anggaran pemerintah yang terbatas. Makanan yang dihasilkan langsung dari kegiatan pertanian dan peternakan di lapas dapat meningkatkan kualitas makan narapidana, sekaligus mengurangi ketergantungan pada suplai luar.
Agus juga menegaskan bahwa kenaikan anggaran untuk kebutuhan makanan napi bukanlah hal yang mendesak saat ini. Program peningkatan ketahanan pangan melalui pemanfaatan lahan di lapas diharapkan dapat menciptakan alternatif yang lebih efisien dalam pemenuhan gizi, sejalan dengan kebijakan pemerintah dalam mengelola anggaran negara yang terbatas.
“Anggaran untuk makanan napi memang sudah ada, tetapi itu harus melalui proses pengajuan dan kita melihat kondisi anggaran pemerintah secara keseluruhan. Yang terpenting adalah program-program prioritas pemerintah lainnya yang harus diutamakan,” ujar mantan Wakapolri tersebut.
Mewujudkan Kemandirian dan Kesejahteraan Napi
Agus menambahkan bahwa pemanfaatan lahan di lapas untuk kegiatan produktif ini juga dapat menjadi sarana pembinaan yang positif bagi para narapidana. Selain memenuhi kebutuhan pangan mereka, kegiatan ini juga dapat mengajarkan keterampilan baru yang bermanfaat bagi kehidupan mereka setelah keluar dari penjara.
Bagi Kementerian Imigrasi dan Pemasyarakatan, program ini bukan hanya bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup napi selama menjalani masa hukuman, tetapi juga memberikan kontribusi bagi pembangunan sektor pertanian dan peternakan yang lebih luas. Dengan lebih banyak lapas yang terlibat dalam kegiatan produktif semacam ini, akan membuka peluang bagi terwujudnya sistem pemasyarakatan yang lebih mandiri dan berkelanjutan.