“Kadang-kadang mereka menyodorkan diri kepada kandidat yang menurut mereka punya peluang besar untuk menang. Ini dilakukan agar mereka dianggap berjasa, sehingga setelahnya bisa mempertahankan jabatan atau bahkan naik pangkat,” jelas Tito.
Namun, ia mengingatkan bahwa langkah tersebut memiliki risiko, terutama jika kandidat yang didukung kalah. “Kalau kandidat yang dia dukung kalah, risiko besar menanti. Sebaliknya, kalau menang, mereka merasa aman dan diuntungkan,” tambahnya.
Tito menjelaskan bahwa ketidaknetralan ASN tidak hanya terjadi di Indonesia, melainkan juga di negara-negara lain seperti Korea Selatan, Malaysia, dan Suriah. Ia mencontohkan, dalam beberapa pemerintahan, pergantian pemimpin sering kali diikuti dengan rotasi besar-besaran pada posisi ASN.
“Di pemerintahan manapun, seperti Korea, Malaysia, bahkan Suriah, praktik ini terjadi. Mereka yang cepat beradaptasi dengan kekuasaan biasanya aman, sedangkan yang lambat, bisa tersingkir,” ungkap Tito.