JAKARTA -Ketua Dewan Pers, Ninik Rahayu, menegaskan bahwa kerja pers harus dilaksanakan dengan berpegang pada kode etik jurnalistik yang mengutamakan akurasi, fakta, dan profesionalisme. Ia menyoroti perbedaan mendasar antara karya jurnalistik yang dihasilkan oleh wartawan profesional dengan konten yang diproduksi oleh influencer, YouTuber, atau buzzer yang tidak terikat oleh prinsip-prinsip tersebut.
“Jadi tolong, karena beda loh antara berita karya jurnalistik dengan influencer, YouTuber, atau buzzer. Itu beda banget. Pers itu kerjanya ada faktanya, akurasinya dijaga, ada kode etiknya,” ujar Ninik dalam acara diskusi Kemerdekaan Pers yang diadakan di Kantor Dewan Pers, Jakarta, pada Selasa (5/11/2024). Diskusi tersebut mengangkat tema pentingnya kemerdekaan pers di tengah dinamika perkembangan media saat ini.
Menurut Ninik, keberadaan kode etik jurnalistik yang dijaga ketat oleh lembaga seperti Dewan Pers merupakan penjaga yang memastikan agar informasi yang sampai kepada masyarakat adalah informasi yang faktual, akurat, dan terpercaya. Sementara itu, ia mencatat bahwa para influencer, YouTuber, dan buzzer tidak memiliki lembaga pengawas yang memastikan konten mereka memenuhi standar etik yang sama. Hal ini, menurutnya, dapat menyebabkan perbedaan kualitas dan integritas informasi yang disebarkan kepada publik.
Tantangan Pers di Tengah Perkembangan Teknologi
Ninik Rahayu juga menyinggung tentang tantangan besar yang dihadapi oleh industri pers, terutama di tengah persaingan dengan platform digital. Ia mengungkapkan, salah satu masalah utama yang kini memengaruhi Indeks Kemerdekaan Pers (IKP) 2024 adalah pergeseran ruang ekonomi yang semakin berat bagi media tradisional. Belanja iklan yang dulunya menjadi salah satu sumber utama pendapatan bagi perusahaan media, kini lebih banyak beralih ke platform digital seperti Google dan Facebook.
“Seperti dalam sambutan saya tadi, memang belanja iklan yang dulu bisa memberikan dukungan pada kerja-kerja jurnalistik, sekarang ini lebih banyak beralih ke perusahaan platform,” ujar Ninik. Pergeseran ini, lanjutnya, membuat perusahaan pers di Indonesia, terutama media mainstream, kesulitan untuk bertahan. Oleh karena itu, ia meminta agar lembaga-lembaga pemerintah dan swasta lebih memprioritaskan belanja iklan untuk media yang sudah lama membantu menyediakan informasi yang berkualitas kepada masyarakat.