Ia menggambarkan bahwa AgenBRILink berfungsi layaknya kantor cabang BRI, namun dalam bentuk agen yang dapat berupa warung, toko kelontong, dan lainnya, yang bertujuan untuk menjangkau masyarakat dengan lebih luas, mendalam, dan ekonomis, khususnya di wilayah yang sulit dijangkau oleh layanan bank formal. Saat ini, jumlah AgenBRILink terus tumbuh, mencapai 1,022 juta agen di seluruh Indonesia pada tahun ini. Pada tahun 2015, jumlah AgenBRILink hanya sekitar 75.000.
Selanjutnya, AgenBRILink dinilai memiliki potensi bisnis yang besar. Pada tahun lalu, BRI menerima fee sebesar Rp1,5 triliun, sementara agen memperoleh fee sekitar dua kali lipat dari yang diterima BRI. Diperkirakan, AgenBRILink di seluruh Indonesia meraup pendapatan sekitar Rp2,5 triliun hingga Rp3 triliun.
Namun, kebijakan penutupan kantor ini memunculkan keluhan dari sejumlah nasabah. Banyak nasabah menilai kebijakan ini merugikan, karena setiap transaksi melalui AgenBRILink dikenakan biaya administrasi yang beragam, mulai dari Rp5.000 hingga Rp7.000 untuk transfer Rp1 juta. Biaya ini tentu akan semakin besar jika nasabah ingin melakukan setoran atau penarikan dalam jumlah yang lebih tinggi, misalnya Rp10 juta.
Beberapa nasabah bahkan mengungkapkan kekecewaan karena merasa layanan BRI masih dipenuhi birokrasi yang lambat, berbeda dengan bank swasta lain yang dinilai lebih cepat dan efisien. “Setor ke teller BRI saja bisa menunggu berjam-jam. Sementara di bank lain, urusan bisa selesai dalam 5 menit,” ujar salah satu nasabah dengan nada kesal.
Selain itu, nasabah juga mengkritik kebijakan BRI yang mengharuskan mereka untuk datang ke cabang pertama mereka membuka rekening jika kartu ATM rusak, yang dianggap rumit. Mereka membandingkannya dengan bank lain, di mana penggantian kartu ATM bisa dilakukan di cabang mana saja.