BREAKING NEWS
Rabu, 12 Februari 2025

Demonstrasi Mahasiswa di Banda Aceh Berujung Kekerasan: Enam Mahasiswa Jadi Tersangka!

BITVonline.com - Kamis, 12 September 2024 06:22 WIB
1 view
Demonstrasi Mahasiswa di Banda Aceh Berujung Kekerasan: Enam Mahasiswa Jadi Tersangka!
Berita Terkini, Eksklusif di Saluran WhatsApp bitvonline.com
+ Gabung

ACEH –Aksi demonstrasi yang dilakukan oleh mahasiswa Universitas Malikussaleh di depan Gedung Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) pada 29 Agustus 2024 berakhir dengan kekerasan dan penangkapan, menambah catatan hitam bagi penegakan hak-hak berpendapat di Indonesia. Iryanto Lubis alias Jumar (24 tahun), salah satu mahasiswa yang terlibat dalam aksi tersebut, kini ditetapkan sebagai tersangka. Kepada Tempo, Iryanto mengungkapkan detail bagaimana aksi damai berubah menjadi ricuh setelah penanganan represif dari aparat kepolisian.

Aksi Damai yang Berubah Ricuh

Baca Juga:

Iryanto menjelaskan bahwa demonstrasi yang diadakan pada tanggal tersebut awalnya bertujuan untuk menyuarakan penolakan terhadap berbagai isu penting, seperti revisi UU Pilkada, kenaikan upah di Aceh, konflik agraria, serta revisi UU TNI dan Polri. Mereka melakukan orasi selama 30 hingga 40 menit di depan Gedung DPRA, berharap dapat berdialog dengan perwakilan polisi. Namun, niat untuk berdialog itu tidak terwujud. “Kami ingin dialog terbuka, namun polisi menolak,” ujar Iryanto saat dihubungi pada Rabu malam, 11 September 2024.

Baca Juga:

Ketegangan mulai meningkat ketika salah satu demonstran membakar ban sebagai bentuk protes. Tak lama setelah itu, terjadi ledakan yang tidak jelas sumbernya, menyebabkan panik di antara massa. Polisi yang awalnya tampak ingin membuka jalur negosiasi, tiba-tiba menginstruksikan penangkapan.

Kekerasan dan Penahanan

Iryanto melaporkan bahwa polisi menangkap sekitar 16 demonstran, termasuk dirinya. “Kawan-kawan terkacir, ada yang ditendang di bagian perut,” tuturnya. Para demonstran digiring ke teras DPRA, dipaksa jongkok, dan mengalami kekerasan fisik. Beberapa di antaranya bahkan dipukul hingga kepala mereka membentur dinding, meninggalkan bekas sepatu dan bercak darah di kepala salah satu demonstran.

R, salah satu demonstran yang terluka parah, dibawa ke rumah sakit, sementara sisanya digiring ke Polresta Banda Aceh. Di sana, mereka mengalami berbagai bentuk intimidasi dan kekerasan fisik. Iryanto sendiri mengaku mengalami kekerasan selama proses interogasi, termasuk dipukul, ditampar, dan dijambak saat ditanya mengenai spanduk yang mereka pasang.

Penolakan Kuasa Hukum dan Rencana ke Depan

Setelah malam pertama penahanan, Iryanto dan rekan-rekannya dipaksa menandatangani surat penolakan bantuan hukum. Pihak LBH Banda Aceh yang telah menunggu di depan Polresta sejak hari pertama penangkapan dilarang masuk. “Sabtu kami dibujuk, ditampar, dan dipaksa tanda tangan penolakan kuasa hukum,” ungkap Iryanto. Meskipun ada intimidasi, beberapa demonstran dibebaskan, namun ponsel mereka disita dan hingga kini belum dikembalikan.

Iryanto mengungkapkan rencana mereka ke depan, yaitu menggugat tindakan polisi melalui praperadilan dan menyurati Komnas HAM untuk meminta penyelidikan pro justicia terhadap Kapolresta Banda Aceh. “Kami akan berusaha untuk menggugat melalui jalur hukum,” tegasnya. Ia juga menyatakan bahwa mereka ingin menggelar aksi damai tanpa kekerasan untuk menuntut hak-hak mereka, dan menilai penangkapan serta penetapan tersangka sebagai tindakan yang tidak sah.

Kritik Terhadap Kebebasan Berpendapat

Menurut Iryanto, tindakan represif polisi terhadap demonstran merupakan bentuk penghalangan terhadap kebebasan berpendapat. “Kritik yang kami sampaikan seharusnya diarahkan pada institusi Polri, bukan pada individu polisi,” tegasnya. Ia menekankan bahwa penting bagi pemerintah dan institusi penegak hukum untuk tetap terbuka terhadap kritik, karena “kalau institusi pemerintah tidak bisa dikritik, itu berbahaya bagi demokrasi kita,” tuturnya.

Kritik Terhadap Proses Hukum

Enam mahasiswa yang terlibat dalam demonstrasi kini ditetapkan sebagai tersangka oleh Satuan Reserse Kriminal Polresta Banda Aceh atas tuduhan ujaran kebencian terhadap polisi. Kepala Operasional LBH Banda Aceh, Muhammad Qodrat, menilai bahwa penetapan tersangka merupakan kriminalisasi dan penyalahgunaan kewenangan. Qodrat meminta agar penyidikan dihentikan dan para mahasiswa dibebaskan. “Polisi bukanlah ras, etnis, apalagi agama. Kritik terhadap institusi negara tidak tepat dianggap sebagai ujaran kebencian,” jelasnya.

Kendala Konfirmasi

Tempo telah berupaya menghubungi Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Polda Aceh, Komisaris Besar Joko Krisdiyanto, untuk meminta konfirmasi mengenai kronologi penangkapan, penahanan, dan penetapan tersangka. Namun, hingga berita ini ditulis, Kombes Joko Krisdiyanto belum memberikan tanggapan.

(N/014)

Tags
beritaTerkait
Angota DPR RI Haji Musa Rajekshah Ucapkan Selamat Kepada Mualem Muzakir Manaf dan Fadhullah atas Amanah Sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur Aceh
Skandal Pemalsuan Surat Izin: Kepala Desa Kohod Akui Terlibat di Kasus Pagar Laut Tangerang
Presiden Prabowo Subianto Dorong Kerja Sama Industri Pertahanan dengan Turki
Kronologi Kernet Bus Damri Ditusuk Sopir Pajero Usai Tegur Serobot Antrean di SPBU Bandar Lampung
Pemangkasan Anggaran Kementerian Pekerjaan Umum Berdampak pada Pembatalan dan Penundaan Proyek Infrastruktur
Ahmad Dhani Tantang Penyanyi yang Tak Bayar Royalti untuk Bertemu di Pengadilan?!
komentar
beritaTerbaru