JAKARTA -Kasus dugaan kekerasan seksual yang melibatkan seorang siswa SMA di Pinrang, Sulawesi Selatan, mendapat perhatian serius dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI).
Aris Adi Leksono, anggota KPAI, menegaskan pentingnya menjaga perlindungan identitas bagi anak yang berkonflik dengan hukum (ABH) dan korban, khususnya dalam penanganan kasus sensitif seperti kekerasan seksual.
"Kami berharap perlindungan identitas bagi anak yang berkonflik dengan hukum dan korban tetap dijaga agar tidak menimbulkan stigma yang dapat merusak masa depan mereka," ungkap Aris Adi Leksono di Jakarta, Selasa (8/4/2025).
Perlindungan identitas anak sangat krusial, terutama mengingat mereka masih memiliki masa depan yang panjang.
Aris menekankan bahwa penanganan kasus kekerasan seksual harus dilakukan secara komprehensif, dengan pendekatan yang berbasis pada pendampingan dan pemulihan bagi korban maupun pelaku.
Kasus ini melibatkan seorang siswa SMA berinisial S (16) yang diamankan oleh pihak kepolisian setelah diduga menyodomi 16 anak laki-laki usia sekolah dasar di Pinrang.
Kasus ini terungkap setelah salah seorang orang tua korban melapor ke polisi karena anaknya mengeluhkan rasa sakit.
Diketahui, para korban memiliki hubungan kekerabatan dengan pelaku.
S diduga telah melakukan pelecehan seksual sejak ia duduk di bangku SMP hingga SMA, dengan beberapa korban yang mengalami pelecehan berulang kali.
Pelaku, S, mengaku kepada polisi bahwa ia sendiri pernah menjadi korban kekerasan seksual saat masih bersekolah dasar (SD), yang dilakukan oleh keluarga dekatnya.
S juga mengungkapkan bahwa ia merasakan dampak psikologis dari kejadian tersebut dan ini diduga menjadi faktor yang memengaruhi tindakannya terhadap korban.
KPAI mendesak agar pihak kepolisian dan lembaga terkait menangani kasus ini dengan hati-hati dan memprioritaskan pemulihan psikologis bagi semua pihak yang terlibat.
Selain itu, Aris juga menekankan pentingnya pendekatan yang tidak hanya mengutamakan hukuman, tetapi juga pemulihan dan rehabilitasi, mengingat korban dan pelaku adalah anak-anak yang masih memiliki kesempatan untuk memperbaiki kehidupan mereka.*