JAKARTA -Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mendesak aparat penegak hukum agar mengusut secara ilmiah kasus pembunuhan Juwita (23), jurnalis perempuan asal Kota Banjarbaru yang diduga dibunuh oleh oknum TNI Angkatan Laut.
"Komnas HAM meminta penyelidikan dan penyidikan berbasis ilmiah atau scientific crime investigation, seperti forensik digital, forensik kedokteran, dan lain-lain," tegas Koordinator Subkomisi Penegakan HAM Komnas HAM, Uli Parulian Sihombing, Senin (7/4).
Komnas HAM juga menekankan pentingnya penegakan hukum yang adil dan transparan, serta perlindungan bagi saksi dan keluarga korban.
Lembaga ini menyatakan sedang mendalami kasus tersebut dan menghormati proses hukum yang sedang berlangsung oleh Detasemen Polisi Militer Angkatan Laut (Denpomal) Banjarmasin.
Juwita ditemukan meninggal dunia di kawasan Gunung Kupang, Kelurahan Cempaka, Kota Banjarbaru, Sabtu (22/3) sekitar pukul 15.00 WITA.
Jasad korban ditemukan tergeletak di tepi jalan bersama sepeda motornya.
Awalnya, sempat muncul dugaan korban mengalami kecelakaan tunggal, namun warga yang pertama kali menemukan jasad Juwita tidak melihat tanda-tanda kecelakaan lalu lintas.
Fakta mencurigakan seperti luka lebam di leher serta hilangnya ponsel korban menjadi petunjuk awal adanya tindak kriminal.
Pihak keluarga juga menegaskan bahwa korban mengalami kekerasan seksual sebelum dibunuh.
Pelaku Diduga Oknum TNI AL
Komandan Denpom Lanal Balikpapan, Mayor Laut PM Ronald Ganap, membenarkan keterlibatan seorang prajurit TNI AL berpangkat Kelasi Satu berinisial J dalam kasus tersebut.
J diketahui baru satu bulan bertugas di Lanal Balikpapan, setelah sebelumnya ditempatkan di Lanal Banjarmasin.
"Statusnya sudah naik dari penyelidikan ke tahap penyidikan," ujar Ronald pada Sabtu (29/3).
Saat ini, J telah diserahkan kepada Denpomal Banjarmasin untuk proses hukum lebih lanjut.
Pemerkosaan dan Pembunuhan
Keluarga korban melalui kuasa hukumnya, Muhamad Pazri, mengungkapkan bahwa Kelasi Satu J diduga telah memperkosa korban dua kali, yakni pada Desember 2024 dan pada hari pembunuhan, 22 Maret 2025.
"Temuan cairan putih dan luka lebam di area kemaluan korban harus didalami melalui uji laboratorium forensik," ujar Pazri.
Keluarga mendesak agar proses uji laboratorium dilakukan di Jakarta atau Surabaya, mengingat keterbatasan fasilitas di Kalimantan Selatan.
Selain itu, keluarga juga telah menyerahkan foto dan video sebagai bukti kuat yang mengindikasikan kekerasan seksual sebelum pembunuhan terjadi.
Komnas HAM menutup pernyataannya dengan menyerukan adanya pemulihan psikologis dan sosial bagi keluarga korban, serta menjamin bahwa proses hukum akan diawasi ketat oleh lembaga independen.