Ganjar juga mengkritik kondisi demokrasi saat ini, menyatakan bahwa ada kalanya para pihak tidak berani berbicara secara bebas dan hanya mengikuti arus tanpa keberanian untuk menyuarakan pendapat. “Mereka tidak berani bicara, mereka seperti dicucuk hidungnya dan mengekor saja. Maka hancurlah demokrasi,” lanjutnya. Ungkapan ini mencerminkan keprihatinan Ganjar terhadap tantangan yang dihadapi sistem demokrasi di Indonesia dan perlunya menjaga kebebasan berpendapat.
PDIP juga terus berupaya agar peristiwa Kudatuli diakui sebagai pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat. Ganjar menyampaikan harapan agar Komnas HAM bisa mencatat peristiwa tersebut secara resmi sebagai pelanggaran HAM berat. “Kita menyampaikan kepada Komnas HAM agar ini dicatat sebagai pelanggaran HAM berat. Tentu itu butuh perjuangan, butuh dukungan publik agar kemudian tidak terulang,” kata Ganjar. Ia menambahkan bahwa perjuangan untuk pengakuan ini tidak mudah dan membutuhkan dukungan berkelanjutan dari masyarakat luas.
Acara peringatan Kudatuli kali ini dimeriahkan dengan serangkaian kegiatan yang penuh makna. Diantaranya adalah pembacaan puisi oleh sastrawan Amien Kamil yang merupakan karya dari Wiji Thukul, seorang penyair dan aktivis yang terkenal dengan perjuangannya. Selain itu, lantunan lagu dari Fajar Merah, putra Wiji Thukul, turut menyemarakkan suasana. Penaburan bunga di seluruh gedung DPP PDIP juga menjadi simbol penghormatan dan refleksi terhadap peristiwa yang penuh sejarah ini.