RUU yang diusulkan untuk melarang perdagangan daging anjing dan kucing tersebut, lanjut Kenneth, sejalan dengan sejumlah aturan yang ada, seperti dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Pasal 302 yang mengatur hukuman bagi orang yang sengaja menyiksa atau membiarkan hewan menderita. Selain itu, Surat Edaran (SE) Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian Nomor 9874/SE/pk.420/F/09/2018 juga menegaskan bahwa daging anjing bukanlah pangan yang layak dikonsumsi manusia.
Namun, keputusan Baleg untuk menghapus usulan RUU ini memunculkan ketidakpuasan di kalangan aktivis, terutama karena pengabaian terhadap risiko zoonosis dan penyebaran rabies yang masih menjadi ancaman kesehatan masyarakat di Indonesia. Kenneth juga menyatakan pentingnya sinergi antara pemerintah, masyarakat, dan aktivis lokal untuk menanggulangi praktik perdagangan daging anjing dan kucing. “Kita harus mengedukasi masyarakat tentang bahaya konsumsi daging anjing, dan mengajak mereka untuk berhenti mengonsumsi daging hewan peliharaan,” tambahnya.
Penting untuk dicatat bahwa beberapa daerah di Indonesia, seperti Sukoharjo, Karanganyar, dan Salatiga, telah mengeluarkan peraturan daerah yang secara tegas melarang konsumsi daging anjing. Kenneth berencana untuk mendorong Pemerintah DKI Jakarta untuk segera mengeluarkan Peraturan Daerah (Perda) yang melarang perdagangan dan konsumsi daging anjing di ibu kota, mengikuti langkah-langkah yang telah diambil oleh daerah-daerah tersebut.