BITVONLINE.COM –Wacana pemberian pengampunan kepada koruptor dengan syarat mengembalikan uang hasil korupsi kembali ke negara kembali mengemuka, memicu perdebatan sengit di kalangan masyarakat dan pengamat hukum. Di satu sisi, ide ini dapat dilihat sebagai langkah pragmatis untuk mengembalikan aset negara yang hilang. Namun, di sisi lain, kebijakan ini menimbulkan pertanyaan serius mengenai arti pengampunan dalam konteks korupsi dan apakah tindakan tersebut merendahkan nilai keadilan.
Pengampunan sering kali dipandang sebagai kesempatan kedua bagi pelanggar hukum. Namun, dalam kasus korupsi, kebijakan ini berisiko memberi sinyal bahwa tindakan ilegal bisa ditoleransi selama ada upaya untuk mengembalikan kerugian negara. Hal ini berpotensi menciptakan preseden buruk, di mana para pelaku korupsi merasa dapat melanggar hukum tanpa takut akan konsekuensi serius, asalkan mereka mengembalikan hasil korupsi mereka.
Dalam Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU 31/1999 juncto UU 20/2021), disebutkan bahwa pengembalian kerugian negara tidak menghapus pidana. Artinya, meski pelaku korupsi telah mengembalikan uang yang dicuri, mereka tetap harus mempertanggungjawabkan perbuatannya di hadapan hukum. Dengan demikian, ide pemberian ampunan dengan syarat pengembalian uang tersebut bertentangan dengan prinsip hukum yang ada, yang menuntut pertanggungjawaban pidana.