JAKARTA -Di tengah gemuruh politik pasca-putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait ambang batas parlemen, Indonesia kembali disuguhkan dengan dinamika yang memancing perdebatan. Dengan keputusan No.116/PUU/XX-I/2023, ambang batas parlemen sebesar 4% yang telah diatur dalam Undang-Undang (UU) No.7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu) dinyatakan tak berlaku lagi, membuka celah bagi perubahan dalam jagad politik tanah air.
Sebuah keputusan yang dianggap kontroversial, seiring dengan berbagai spekulasi yang mengemuka. Putusan tersebut telah menimbulkan respons beragam dari kalangan politisi, yang secara terang-terangan mengekspresikan sudut pandangnya masing-masing. Dalam balutan sorotan media, masyarakat awam pun terjerat dalam kebingungan, mencari pemahaman akan esensi dari keberadaan ambang batas parlemen dan siapa yang sebenarnya diuntungkan dari putusan MK tersebut.
Gonjang-ganjing politik tak terelakkan, mengeksploitasi celah yang dihadirkan oleh putusan MK. Sebab, keputusan tersebut seolah-olah menghidupkan kembali harapan bagi partai-partai yang tengah berjuang untuk bertahan dan merebut kursi di parlemen. Namun, di balik kemungkinan tersebut, tersembunyi kontroversi yang mendalam, mencuatkan pertanyaan-pertanyaan yang membingungkan: untuk apa sebenarnya ambang batas parlemen diundangkan, dan siapa yang sebenarnya diuntungkan?